Bahasa Baku
Sebagai
bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya
wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta
cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai
ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia
digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar
belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan
munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam
sosial.
Salah
satu jenis ragam sosial yang bertalian dengan pokok bahasan makalah ini
adalah ragam bahasa Indonesia yang lazim digunakan oleh kelompok yang
menganggap dirinya terpelajar. Ragam ini diperoleh melalui pendidikan
formal di sekolah. Karena itu, ragam ini lazim juga disebut ragam bahasa
(Indonesia) sekolah. Ragam ini juga disebut ragam (bahasa) tinggi.
Dalam kaitan ini patut dicatat bahwa bahasa Melayu yang diikrarkan
sebagai bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tentulah ragam
bahasa Melayu Tinggi pada waktu itu. Ragam bahasa kaum terpelajar itu
biasanya dianggap sebagai tolok untuk pemakaian bahasa yang benar. Oleh
karena itulah maka ragam bahasa sekolah itu disebut juga (ragam) bahasa
baku (lihat Alwi et al. 1993).
Mengingat
ragam bahasa baku itu digunakan untuk keperluan berbagai bidang
kehidupan yang penting, seperti penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
penyusunan undang-undang, persidangan di pengadilan, persidangan di DPR
dan MPR, penyiaran berita melalui media elektronik dan media cetak,
pidato di depan umum, dan, tentu saja, penyelenggaraan pendidikan, maka
ragam bahasa baku cenderung dikaitkan dengan situasi pemakaian yang
resmi. Dengan kata lain, penggunaan ragam baku menuntut penggunaan gaya
bahasa yang formal.
Dalam
hubungan dengan gaya itu, perlu dicatat perbedaan ragam bahasa lisan
dan ragam bahasa tulisan. Dari segi gaya, ragam bahasa tulisan cenderung
kata-katanya lebih terpilih dan kalimat-kalimatnya lebih
panjang-panjang, tetapi lebih tertata rapi. Dengan kata lain, persoalan
lafal yang menjadi persoalan pokok makalah ini tidak berkaitan langsung
dengan perbedaan ragam bahasa Indonesia lisan dan ragam bahasa Indonesia
tulisan. Lafal bahasa Indonesia yang dipersoalkan dalam makalah ini
adalah lafal (baku) yang dianggap baik untuk digunakan ketika berbahasa
Indonesia baku dengan memakai bunyi sebagai sarananya baik dengan cara
berbicara maupun dengan cara membaca.
1. Ciri-Ciri Lafal Baku Bahasa Indonesia
Di
atas telah disinggung bahwa bahasa baku baik ragam lisan maupun tulisan
selalu dikaitkan dengan bahasa sekolah yang juga disebut ragam tinggi.
Ragam bahasa tinggi ini lazim digunakan oleh mereka yang menganggap
dirinya terpelajar. Salah satu ciri yang menonjol bahasa kaum terpelajar
ini, yang menyangkut lafal, adalah bahwa sistem bunyinya lebih kompleks
dibandingkan dengan sistem bunyi yang dimiliki kaum tak-terpelajar.
Bahasa kaum terpelajar cenderung mempunyai khasanah bunyi yang lebih
banyak. Karena itu, kaum terpelajar cenderung membedakan kata seni dari
zeni, kata pak dari vak, kata sarat dari syarat, kata kas dari khas, dan
kata teras (rumah) dari teras (dalam arti inti) sedangkan kaum tidak
terpelajar cenderung tidak membedakan pasangan-pasangan kata itu dalam
berbicara.
Bahasa
kaum terpelajar juga cenderung mempunyai kaidah fonotaktis yang lebih
rumit. Kaum terpelajar akan mengacu kumpulan bangunan sejenis di suatu
tempat sebagai kompleks, aksi-aksi mahasiswa yang menuntut reformasi
sebagai demonstrasi, dan olahraga konglomerat yang dilakukan di
padang-padang bekas kebun teh dan sawah rakyat sebagai golf, sementara
kelompok tidak terpelajar cenderung akan mengacunya masing-masing
sebagai komplek, demonstrasi, dan golop, paling tidak, dalam berbahasa
lisan. Selain khasanah bunyi yang lebih banyak dan kaidah fonotaktis
yang menyatakan kombinasi-kombinasi bunyi yang lebih kompleks, bahasa
kaum terpelajar cenderung juga berbeda dari bahasa kaum tak-terpelajar
dalam hal kaidah pemberian tekanan pada kata. Bahasa kaum terpelajar
cenderung memperlihatkan kaidah tekanan yang lebih teratur dan lebih
berdasar daripada bahasa kaum tak-terpelajar. Perbedaan lafal akibat
perbedaan kaidah penempatan tekanan antara kedua kelompok penutur bahasa
Indonesia itu akan lebih tajam bila kata-kata itu berada dalam untaian
kalimat.
Pada
umumnya aspek-aspek bunyi dan tekanan yang memperbedakan ragam bahasa
baku (ragam bahasa kaum terpelajar) dengan ragam bahasa tak-baku (ragam
bahasa kaum tak-terpelajar) bersumber pada perbedaan sistem bunyi bahasa
Indonesia dengan bahasa ibu para penutur yang cenderung menghasilkan
ragam regional bahasa Indonesia yang lazim disebut logat atau aksen.
Sejalan dengan itu, Abercrombie (1956) menulis bahwa ragam bahasa baku
adalah ragam bahasa yang paling sedikit memperlihatkan ciri kedaerahan.
Makin
tinggi pendidikan seseorang cenderung akan meningkatkan status sosial
seseorang--termasuk meningkatkan mutu bahasanya. Khasanah bunyi beserta
kaidah-kaidah yang mengatur distribusi bunyi-bunyi itu, termasuk
kombinasi-kombinasi bunyi dalam kata yang diperbolehkan oleh kaidah
fonotaktik, dan kaidah penempatan tekanan pada kata-kata bahasa
Indonesia ragam baku dapat dilihat di dalam Alwi et al. (1998).
2. Fungsi Lafal Baku Bahasa Indonesia
Lafal
merupakan perwujudan kata-kata dalam bentuk untaian-untaian bunyi.
Lafal merupakan aspek utama penggunaan bahasa secara lisan. Dalam
hubungan itu, lafal baku dapat dipandang sebagai perwujudan ragam bahasa
baku dalam bentuk untaian bunyi ketika berlangsung komunikasi verbal
secara lisan yang menuntut penggunaan ragam baku. Persoalannya adalah
peristiwa komunikasi lisan apa saja yang menuntut penggunaan ragam baku.
Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut
penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis,
(3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang
dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya
dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal
secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam
pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato,
dsb. atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti
pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dengan orang yang baru dikenal
dsb.
Di
atas telah kita lihat bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam
bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang
penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang
bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa
baku itu, Moeliono (1975) mencatat empat fungsi pokok, yaitu (1) fungsi
pemersatu, (2) fungsi penanda kepribadian, (3) fungsi penanda wibawa,
dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Dengan
demikian, lafal baku--sebagai perwujudan bahasa baku secara
fonetis--mempunyai fungsi sosial sebagai (1) pemersatu, (2) penanda
kepribadian, (3) penanda wibawa, dan (4) sebagai kerangka acuan.
Pengikraran
bahasa Melayu (tinggi) sebagai bahasa Indonesia 70 tahun lalu merupakan
peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam proses perkembangan
bangsa Indonesia yang bersatu. Sulit untuk dibayangkan apa yang akan
terjadi dengan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku bangsa
dengan latar belakang kebahasaan yang ratusan pula dan menyebar di
kepulauan Nusantara yang luas ini jika tidak ada satu bahasa sebagai
alat komunikasi antara satu dengan lain. Kehadiran suatu lafal baku yang
perlu digunakan sebagai tolok dalam berbahasa lisan pada
peristiwa-peristiwa tutur resmi yang melibatkan pendengar dari berbagai
kelompok suku tentulah merupakan suatu keharusan. Fungsi
kepribadian lafal baku akan tampak bila kita terlibat dalam pergaulan
antarbangsa. Melalui bahasa lisan seseorang, kita dapat mengenal apakah
dia menggunakan logat asing ataukah logat baku. Orang asing yang belajar
bahasa Indonesia dapat saja mencapai penguasaan bahasa Indonesia yang
sangat baik namun itu biasanya terbatas pada bahasa tulisan. Atau,
kemungkinan lain, dapat saja kita terlibat dalam percakapan dengan
bangsa serumpun, misalnya dengan orang Malaysia atau Brunei Darussalam.
Dari segi perawakan tentu sulit untuk membedakan satu sama lain, tetapi
melalui logat/dialek yang digunakan kita dapat mengenal apakah seseorang
termasuk bangsa Indonesia atau tidak.
Fungsi
penanda wibawa lafal baku merupakan suatu fungsi yang mempunyai nilai
sosial yang tinggi dalam suatu masyarakat. Kemampuan seseorang dalam
menggunakan lafal baku cenderung akan ditafsirkan bahwa orang itu adalah
orang terpelajar dan karena itu patut disegani. Kewibawaan lafal baku
tampak jelas dalam pergaulan sehari-hari. Dalam senda gurau tidak pernah
kita mendengar lafal baku dijadikan bahan olok-olok. Pada umumnya yang
kita dengar adalah logat (lafal) yang bersifat kedaerahan.
Fungsi
lafal baku sebagai kerangka acuan berarti bahwa lafal baku dengan
perangkat kaidahnya menjadi ukuran atau patokan dalam berbahasa
Indonesia secara lisan pada situasi-situasi komunikasi yang resmi.
3. Faktor Penunjang dan Penghambat Pertumbuhan Lafal Baku
Dengan
faktor pendukung pertumbuhan lafal baku di sini dimaksudkan semua
faktor yang dianggap memberikan dampak positif terhadap kehadiran lafal
baku bahasa Indonesia. Sebaliknya, faktor penghambat pertumbuhan lafal
baku adalah semua faktor yang dianggap memberikan dampak negatif
terhadap pertumbuhan/kehadiran lafal baku bahasa Indonesia. Oleh karena
itu, pembicaraan pada seksi ini akan mencoba mengidentifikasi beberapa
isu atau masalah yang bertalian dengan lafal baku kemudian melihat apa
segi positifnya dan apa segi negatifnya. Masalah yang bertalian dengan
lafal baku yang akan disorot dalam hubungan ini meliputi:
a. Isu Persatuan dan Kesatuan
Kondisi
Indonesia sebagai negara kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku bangsa
dengan bahasa yang berbeda-beda jelas merupakan tantangan berat dalam
rangka mempersatukan bangsa Indonesia ini. Adanya satu bahasa sebagai
alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang bhineka itu merupakan
suatu keharusan. Hal ini disadari benar oleh para pemuda yang hadir
dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28
Oktober 1928. Melalui Sumpah Pemuda tersebut, bahasa Melayu diikrarkan
sebagai bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia. Walaupun tidak
ada catatan yang menyebutkan secara eksplisit ragam bahasa Melayu mana
yang dinobatkan sebagai bahasa Indonesia itu, dapat dipastikan bahwa
bukan ragam bahasa Melayu pasar. Ragam bahasa Melayu yang dinobatkan
sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda itu tentulah ragam bahasa
Melayu Tinggi karena ragam inilah yang diajarkan di sekolah-sekolah,
terutama sekolah-sekolah kebangsaan. Bersamaan dengan pengikraran ragam
bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa Indonesia, Sumpah Pemuda itu juga
secara serta-merta menobatkan lafal bahasa Melayu Tinggi sebagai lafal
baku.
Fungsi
bahasa Indonesia baku, termasuk lafalnya, sebagai alat pemersatu bangsa
secara umum dapat dikatakan telah berjalan dengan baik. Hampir sebagian
besar bangsa Indonesia telah dapat mengerti bahasa Indonesia. Namun, di
sisi lain penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan telah
pula mengakibatkan sebagian masyarakat yang belum menguasai atau
dianggap belum mahir berbahasa Indonesia secara tidak sadar telah
menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat bangsa ini atas yang mahir
berbahasa Indonesia dan yang tidak mahir berbahasa Indonesia. Upaya
untuk mengendalikan pertumbuhan bahasa melalui perencanaan bahasa
sesungguhnya merupakan upaya perencanaan perbedaan antara yang mahir dan
yang kurang mahir berbahasa Indonesia termasuk lafalnya.
b. Isu Pendidikan
Salah
satu alasan yang sering dikemukakan dalam hubungan dengan upaya
penetapan suatu ragam bahasa baku adalah pendidikan. Penyelenggaraan
pendidikan di sekolah tentulah menuntut adanya bahasa pengantar yang
dikuasai oleh guru dan murid. Pengembangan bahan-bahan ajar tentulah
memerlukan satu bahasa demi penghematan. Adalah tidak ekonomis untuk
menyediakan buku yang berbeda-beda dari segi bahasa bagi
kelompok-kelompok yang berbeda bahasa seperti Indonesia. Ini tidak hanya
mahal dari segi finansial tetapi juga mahal dari segi ketenagaan. Dalam
hubungan dengan penyelenggaraan pendidikan ini, peranan lafal baku
sangat penting karena ragam bahasa yang digunakan sebagian besar adalah
ragam lisan. Kegagalan seseorang menguasai lafal baku cenderung akan
berakibat kegagalan dalam mencapai manfaat pendidikan di sekolah yang
optimal.
Isu
pendidikan berkenaan dengan lafal baku itu baru akan menjadi persoalan
bila sekolah memang menuntut penggunaan lafal baku. Murid yang tidak
mahir menggunakan lafal baku cenderung akan dinilai "kurang berhasil"
dalam mengikuti pendidikan. Kekurangberhasilan murid itu akan tampak
menonjol dalam hal-hal yang menuntut penggunaan bahasa lisan seperti
bercakap-cakap, menjawab pertanyaan secara lisan, menerangkan sesuatu,
dan membaca bersuara.
c. Isu Kesempatan Kerja
Alasan
lain yang biasa dikemukakan dalam usaha penetapan suatu bahasa baku
termasuk lafal baku bertalian dengan kesempatan kerja. Prof. Emil Salim
(1983) melaporkan bahwa hasil Sensus 1980 menunjukkan adanya hubungan
positif antara penguasaan bahasa Indonesia dengan kesempatan kerja.
Pendapatan per kapita rata-rata (GNP) yang menguasai bahasa Indonesia
lebih tinggi daripada GNP kelompok masyarakat yang kurang menguasai
bahasa Indonesia. Rendahnya GNP kelompok yang kurang menguasai bahasa
Indonesia itu pastilah tidak berkaitan langsung dengan kemampuan
intelektual atau keterampilan mereka. Kemungkinan besar perbedaan GNP
itu lebih banyak ditentukan oleh kesan pertama yang didapatkan oleh para
penyaring calon pekerja melalui lamaran tertulis dan atau wawancara
dengan pencari kerja tersebut. Ketidaklancaran komunikasi antara calon
pekerja dengan penyaring calon pekerja cenderung ditafsirkan sebagai
ketidakmampuan tenaga pencari kerja tersebut untuk melaksanakan beban
kerja lowongan yang ada.
Di
sini lagi-lagi isu bahasa baku, termasuk lafal baku, dapat menjadi
masalah jika ragam bahasa baku itu dijadikan sebagai suatu prasyarat
untuk bisa diterima sebagai tenaga kerja dalam suatu lembaga atau
perusahaan. Buruh-buruh di suatu pabrik atau perkebunan serta pesuruh,
tukang kebun, dan tenaga administrasi rendahan di kantor-kantor tidak
perlu dipersyaratkan menguasai bahasa Indonesia baku secara lisan dan
tertulis sama baik dengan mandor atau kepala bagian di kantor-kantor.
d. Isu Keunggulan Bahasa Baku
Di
atas telah disinggung bahwa ragam bahasa baku cenderung dinilai sebagai
bahasa yang bergengsi yang lebih baik daripada ragam lain atau ragam
kedaerahan. Sentimen sosial yang melekat pada ragam baku itu cenderung
ditafsirkan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul daripada ragam
kedaerahan dalam hal daya ungkapnya. Ragam bahasa baku (ragam tinggi)
dianggap mampu mengungkapkan berbagai konsep ilmu pengetahuan dan
teknologi modern, sedangkan ragam kedaerahan tidak.
Dalam
hal-hal tertentu anggapan itu memang benar, tetapi itu terjadi karena
ragam baku memang sengaja dikembangkan secara khusus untuk keperluan
itu, terutama dalam hal peristilahannya. Secara teoretis, ragam apa pun
yang digunakan asal tersedia perangkat istilah untuk bidang-bidang yang
dipercakapkan tentulah bisa. Para ahli ilmu bahasa sudah sejak lama
menerima pandangan bahwa semua bahasa di dunia ini sama baiknya. Apa
yang bisa diungkapkan dalam satu bahasa pastilah dapat diungkapkan dalam
bahasa lain walaupun dengan cara yang lebih panjang. Dalam kaitan ini,
pandangan bahwa ragam bahasa baku lebih unggul dari ragam kedaerahan
terletak pada kehematan dalam pengungkapan saja.
e. Isu Demokrasi dalam Bahasa
Penilaian
ragam bahasa baku sebagai ragam yang berwibawa dan bergengsi dengan
segala konotasinya telah menjadi salah satu alasan mengapa perlu ada
ragam baku dan bahwa setiap warga negara perlu diberi kesempatan yang
sama untuk mempelajari dan menguasai ragam bahasa baku, termasuk lafal
baku itu.
Dalam
negara seperti Indonesia yang warganya terdiri atas ratusan kelompok
etnis dengan bahasa daerah yang beratus pula tentulah keinginan untuk
memberi kesempatan yang sama untuk menguasai bahasa Indonesia (baku)
merupakan suatu keharusan. Masalah yang timbul berkaitan dengan isu
demokrasi dalam bahasa ini adalah bahwa tidak jarang murid mendapat
hambatan dalam menggapai kemajuan dalam pendidikannya akibat ragam
bahasa Indonesia baku yang belum dikuasainya dengan baik. Acapkali dapat
terjadi seseorang menjadi segan, dan mungkin berkembang menjadi benci,
berbicara karena dikritik atau diperolok-olokkan baik oleh guru maupun
oleh teman-temannya. Apabila tekanan-tekanan psikologis seperti itu
dialami oleh murid, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mencapai
hasil yang memuaskan di dalam pendidikannya. Untuk menghindari
tekanan-tekanan psikologis yang bisa diakibatkan ketidakmampuan
menguasai ragam bahasa baku itu, maka murid dapat pula menuntut hak
bahasa lainnya, yaitu untuk belajar di dalam dialeknya sendiri
sebagaimana disuarakan oleh UNESCO belakangan ini walaupun
konsekuensinya jauh lebih tidak menguntungkan dilihat dari kepentingan
bangsa.
4. Upaya Pembakuan Lafal Bahasa Indonesia
Adanya
ragam baku, termasuk lafal baku, untuk bahasa Indonesia merupakan
tuntutan Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Pengikraran bahasa Melayu sebagai
bahasa persatuan dengan nama bahasa Indonesia menuntut setiap orang
Indonesia untuk bisa berkomunikasi satu sama lain baik secara lisan
maupun secara tertulis dalam bahasa persatuan. Penetapan bahasa
Indonesia sebagai bahasa negara berarti bahwa segala bentuk kegiatan
dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan dalam
bahasa Indonesia. Semua kegiatan komunikasi verbal dalam bahasa
Indonesia itu, secara lisan atau secara tertulis, hanya akan mencapai
hasil yang baik jika ada semacam rujukan yang dimiliki bersama--dalam
hal ini ragam baku bahasa Indonesia. Untuk keperluan berbahasa lisan
tentu saja dibutuhkan lafal baku. Upaya pembakuan lafal bahasa Indonesia
pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan dua jalur yaitu :
a. Pembakuan lafal melalui jalur sekolah
Upaya
pembakuan lafal bahasa Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum
bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan 70 tahun lalu.
Upaya pembakuan itu dimulai di sekolah-sekolah yang mengajarkan atau
memakai bahasa Melayu. Kehadiran Ejaan van Ophuijsen tahun 1901 telah
meletakkan dasar yang kokoh bagi pertumbuhan lafal bahasa Melayu Tinggi
yang kemudian dinobatkan sebagai bahasa Indonesia oleh Kongres Pemuda II
tanggal 28 Oktober 1928. Melalui tulisan yang diajarkan di
sekolah-sekolah, murid-murid mulai membentuk lafal baku. Melalui tulisan
yang mereka pelajari, mereka belajar mengucapkan kata-kata tertulis
seperti ada, apa, dan mana, sebagaimana dituliskan dan bukan sebagai [ad
], [ap ], dan [man ] seperti kita dengar dalam bahasa Melayu Riau
hingga dewasa ini.
Pembakuan
lafal melalui sekolah pada umumnya dilakukan secara pasif. Guru tidak
secara khusus melatih para murid untuk menggunakan lafal baku. Murid
belajar lafal baku melalui apa yang didengarnya dari guru dan, pada
tahap tertentu, dari sesama murid. Melalui pelajaran baca-tulis, murid
dapat mengetahui nilai (fonetis) untaian huruf yang digunakan untuk
menuliskan kata-kata Indonesia. Peranan guru dalam upaya pembinaan lafal
bahasa baku sangatlah besar. Untuk dapat melaksanakan upaya pembinaan
lafal baku itu guru hendaklah mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan
memperhatikan hal-hal berikut.
1. Guru
haruslah menyadari bahwa lafalnya merupakan model atau kerangka acuan
bagi murid-muridnya. Karena itu, hendaklah guru mempersiapkan diri
sebaik-baiknya. Pengetahuan fonologi akan banyak membantu tugasnya.
2. Guru
perlu mengetahui aspek-aspek fonologi yang khas di daerah tempatnya
mengajar agar dapat mengetahui bunyi-bunyi yang sukar bagi
murid-muridnya. Di daerah Tapanuli dan sebagian besar Indonesia bagian
timur, vokal / / cenderung diganti dengan /e/. Di Aceh, Jawa, dan Bali
bunyi /t/ cenderung diganti dengan bunyi retrofleks /t/.
3. Guru
hendaklah menyadari bahwa (ragam) bahasa menjadi lambang kelompok
sosial. Karena itu guru perlu menghargai logat murid-muridnya. Apabila
murid merasa direndahkan karena ketidak-mampuannya berbahasa Indonesia
dengan lafal baku sebagai akibat pengaruh logat/bahasa ibunya, maka ia
cenderung menolak apa saja yang berbau lafal bahasa Indonesia baku.
b. Pembakuan lafal melalui jalur luar sekolah
Di
atas telah disinggung bahwa lafal baku sebagai perwujudan ragam bahasa
baku mempunyai nilai sosial yang tinggi. Oleh karena itu, di banyak
tempat di dunia itu acapkali ragam bahasa para penutur dari kalangan
kelas sosial atas sering dijadikan acuan atau model. Hal ini terlihat
jelas di Indonesia. Ketika presiden sering terdengar mengucapkan -kan
sebagai [k n] maka banyak orang yang latah ikut-ikutan mengucapkan [-k
n] walaupun mereka bukan dari suku Jawa. Untuk bisa memberikan model
lafal yang baik kepada masyarakat perlu diperhatikan hal-hal berikut.
1. Setiap
pemimpin dan tokoh masyarakat yang biasa dalam tugasnya berhadapan
langsung dengan rakyat perlu berusaha menggunakan lafal baku.
2. Para
penyiar radio dan televisi hendaklah memberikan model yang baik bagi
para pendengar khususnya dalam pembicaraan yang bersifat resmi, seperti
pembacaan berita atau wawancara resmi dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Peranan televisi dan radio itu sangat besar dalam pembentukan lafal
bahasa Indonesia yang ada dewasa ini.
0 komentar:
Posting Komentar